Setiap orang pada dasarnya bisa berubah. Jangankan manusia, bendapun bisa. Peneliti Jepang, Masaru Emoto, telah membuktikan bahwa energi positif tidak hanya mempengaruhi manusia, tetapi juga benda-benda di lingkungan sekitar kita, misalnya air.
Banyak pertanyaan selalu muncul, apakah energi positif itu? Apakah berupa benda, tindakan, atau rasa? Mari perlahan kita memahami lebih dahulu tentang energi sebagaimana Richard W James dalam bukunya Personal Leadership menyebutkan : “Energi adalah kekuatan yang tidak terlihat, yang mampu membantu kita melakukan perubahan, berkembang dan memenuhi keinginan dalam hidup. “Sejumlah contoh ia sebut sebagai pada katanya energi, antara lain : spirit, cinta, Tuhan, momentum, aliran kehidupan dan seterusnya.
Setiap hari, jam, menit bahkan detik, energi itu akan cepat mempengaruhi diri kita. Ambil contoh, salah satu energi yang tak terlihat, yakni energi cinta. Ketika seseorang mencintai seseorang lain, maka seolah-olah ia memiliki energi yang luar biasa. Melakukan apa saja, ia rasanya mau dan mampu. Sebaliknya, orang bisa loyo, lemah, malas mengerjakan apapun juga ketika diputus cinta.
Contoh yang lebih sederhana adalah energi adanya Tuhan. Banyak orang terkena musibah, bencana yang meluluhlantakkanharta dan nyawa, namun tidak larut dalam kesedihan yang dalam dan penderitaan yang panjang. Itu karena mereka merasa masih punya Tuhan. Ini suatu kekuatan dan energi yang tidak tampak, namun nyata menjadi energi positif.
Demikian juga sebaliknya. Begitu pimpinan di kantor marah, anak dimarahi orang tua, atau guru dimarahi kepala sekolah secara berlebihan, maka pihak yang dimarahi akan merasa loyo dan malas mengerjakan apa-apa. Betapa satu atau dua kalimat kepala sekolah ternyata menjadi energi negatif bagi diri kita sebagai guru dan membuat semangat dan daya juang kita menjadi turun.
Itulah posisi energi.
Lantas dimana posisi energi positif ?
Seorang kawan penulis cerdas Eko Jalu Santoso, dalam Bukunya The Art of Life Revolution menggambarkan hukum kekekalan energi yang disampaikan oleh Isaac Newton. “Bahwa setiap energi di bumi ini tidak pernah hilang dari kehidupan, tetapi hanya sekadar berubah bentuk. Contohnya ; zat cair menguap, kemudian mengembun dan akhirnya turun kembali menjadi hujan. Zat cair ini sesungguhnya tidak pernah berkurang dari kehidupan, hanya berubah bentuk dan akhirnya kembali lagi dalam keseimbangan sebagai zat cair di alam ini”.
Dalam kehidupan manusia pada umumnya, hukum kekekalan energi “Isaac Newton” ini sebenarnya juga berlaku dalam aplikasi kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam tubuh kita sudah kita sudah tersimpan sumber energi yang tak terbatas. Setiap energi yang dilepaskan oleh tubuh kita apakah itu energi positif maupun energi negatif, sesungguhnya tidak pernah hilang dari muka bumi ini. Artinya setiap energi yang dipancarkan dari tubuh kita, nilainya tidak akan pernah berubah. Kalau yang kita pancarkan dari tubuh kita adalah energi positif, maka yang akan kembali adalah energi positif yang akan kita terima lagi. Demikian sebaliknya, kalau energi negatif yang kita pancarkan maka yang akan kembali ke kita adalah energi negatif.
Sederhananya begini, dalam aplikasi nyata kehidupan kalau Anda menolong orang lain yang sedang memerlukan bantuan pertolongan maka sebenarnya tubuh kita sedang memancarkan energi positif yakni berupa tindakan positif berupa kebaikan. Energi positif kebaikan yang Anda pancarkan dari diri Anda sesungguhnya tidak akan hilang dari muka bumi ini. Energi kebaikan yang anda pancarkan akan selalu ada di alam ini dan akan kembali kepada diri Anda. Bentuknya bisa saja sama, apakah kita ditolong kembali oleh orang lain pada saat memerlukan bantuan, atau bisa juga dalam berubah dalam mendapatkan ketenangan jiwa, keselamatan hidup, kebahagiaan hati, penghargaan dari orang lain dan bahkan pahala dari Tuhan YME.
Dan luar biasanya lagi adalah, setiap orang yang senang berbagi energi kebaikan kepada orang lain, ia tidak akan pernah kekurangan sumber energi kebaikan dalam dirinya.
Energi Bersifat Kekal
Dalam bahasa yang lebih tugas, Tomy Setiawan. Seorang praktisi pemasaran menulis : manusia tidak akan pernah lepas dari serangkaian hukum alam. Ketentuan akan mengikat setiap individu, tak peduli apakah ia setuju atau pun tidak, karena hukum alam merupakan ketetapan dari Sang Pencipta bagi alam dan seisinya. Salah satu hukum alam yang mengikat kita adalah Hukum Kekekalan Energi.
Energi itu bersifat kekal. Menurut Einstein, energi tidak bisa dimusnahkan, ia hanya berubah bentuk. Lantas apa sajakah bentuk energi yang relevan dengan kehidupan manusia? Jawabnya adalah SEGALANYA! Energi di sini meliputi semua perbuatan yang kita lakukan, langkah kaki kita, ayunan tangan kita, kata-kata yang kita ucapkan senyum yang kita bagi, bahkan niat yang terlintas dalam pikiran kita. Sejalan dengan konsep hukum karma, Newton dalam Hukum Newton ke-2 menyatakan bahwa Aksi = Reaksi.
Apapun aksi (energi) yang kita lepaskan, akan selalu memberikan reaksi (energi balasan) yang setimpal. Artinya, semua perbuatan yang pernah kita lakukan, selalu memberikan dampak pada diri kita sendiri, bahkan pada anak cucu kita. Nah, bila kita menginginkan energi (dampak) yang baik dalam kehidupan kita dan anak cucu kita kelas, pertanyaannya adalah, “Energi (perbuatan) seperti apakah yang selayaknya kita lakukan?” Untuk menjawabnya, kita perlu menghubungkan ke-2 hukum alam tadi dengan sebuah hukum alam lainnya, yaitu Hukum Keseimbangan.
Hukum Keseimbangan menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini selalu berpasangan. Bila kita mengenal energi positif, tentunya sebagai penyeimbang Tuhan juga menciptakan energi negatif. Keduanya memang akan menciptakan sebuah keseimbangan. Hukum Keseimbangan ini selalu bersinergi secara harmonis dengan hukum alam lainnya, termasuk Hukum Kekekalan Energi dan Hukum Aksi-Reaksi di atas. Energi positif selalu berkumpul dengan energi positif. Karena itu, umpan balik berupa energi positif HANYA akan diperoleh bila kita juga selalu menebar energi positif. Artinya, jangan pernah kita mengharapkan keberuntungan, rejeki berlimpah, peningkatan order, peningkatan penjualan, dan sebagainya, bila yang selalu kita kerjakan hanyalah kecurangan, penipuan, kesombongan, kemaksiatan dan sejenisnya.
Semua agama selalu menganjurkan untuk menebar energi positif. Mulai dari ringan tangan (beramal), rajin bekerja, berprasangka baik, membagi kasih, sampai yang paling sederhana, membagi senyum. Sebaliknya, energi negatif sesungguhnya merupakan larangan agama. Mulai dari yang ekstrim seperti mencuri dan menipu, sampai hal-hal yang nampak remeh seperti sombong, membanggakan diri, merendahkan orang lain.
Lantas, bagaimana bila dimasa lampau kita banyak terpeleset menebar energi negatif? Ada satu fasilitas dari hukum alam yang telah disediakan oleh Tuhan. Energi positif, mempunyai kekuatan berkali lipat lebih kuat dibanding dengan energi negatif. Seperti kerja gravitasi semesta, apa jadinya bila matahari (pusat tatasurya) ukurannya jauh lebih kecil dari bumi (yang mengitarinya)? Energi positif akan menghapus “jejak” energi negatif yang pernah Anda keluarkan, merubahnya menjadi energi positif pula.
Tahukah kita bahwa setiap permasalahan yang kita hadapi akan dibenturkan pada dua kekuatan? Yaitu energi positif dan energi negatif.
Allah SWT berfirman; “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu fujur dan taqwa,” (QS. 91:7-8).
Fujur memiliki energi dan taqwa memiliki energi positif. Berarti pula orang yang selalu berbuat menyimpang dipenuhi oleh energi negatif sedangkan orang yang beriman taat dan rajin beribadah penuh dengan aura energi positif.
Energi Prima
Setiap orang, dituntut menjadi pribadi prima. Namun pribadi prima tidak mungkin dapat dicapai kalau sikap hidupnya, kepribadiannya dan cara berpikirnya tidak dalam frame positif. Karena dalam frame positif itulah energi positif akan menjadi “Darah dagingnya”.
Sebagaimana hukum kekekalan energi yang disampaikan Isaac Newton aksi akan mendapatkan reaksi maka energi positif yang dimiliki seorang guru akan mendapatkan reaksi (respon) positif dari murid-muridnya. Sebaliknya, energi negatif yang akan dibawa seorang guru akan mendapatkan reaksi dari muridnya dalam bentuk energi negatif juga.
Walaupun tarik-menarik, hukum energi positif dan negatif selalu “berperang” dalam kehidupan keseharian dan proses pengajaran para guru. Dan itu alamiah dalam kehidupan. Posisi diri yang tidak tepat melihat suatu kejadian sering menjadikan diri kita ragu-ragu MENEGAKKAN sebuah sikap yang konsisten dan istiqomah dalam posisi positif.
Di samping banyak contoh lain sesuatu profesi yang beragam, saya mencoba menulis sebuah kisah yang dialami seorang guru.
Suatu hari seorang guru SMA mengeluh dan datang berkonsultasi. Ia tidak paham dan sulit memahami perilaku seorang muridnya yang bandel, tidak peka terhadap kawan, dan bahkan ribuan kalimat dan nasehat rasanya hanya masuk telinga kanaknya lalu keluar telinga kirinya. “Kata bapak, kata-kata yang indah, lembut dan positif akan menjadikan anak lembut dan baik. Kenapa itu tidak berlaku bagi si badung ini? Dengan kata-kata kasar saja susah diatur apalagi dengan kata-kata lembut,” keluh guru ini.
“Sudah berapa lama bapak berlaku lembut padanya,” tanya saya.
“Hampir setahun pak, dia tidak berubah,”
“Baru setahun saja, Pak, bukan sudah setahun……….Masak tidak ada perubahan sama sekali?” saya tanya lagi.
“Ada sih, tapi tidak banyak. Dulu, kalau diajak bicara, dia agak cuek. Sekarang, dia sudah mulai mau mendengar meskipun belum mau melaksanakan.”
“Selama setahun, berapa persen Bapak berkata lembut dan positif serta berapa persen berkata kasar dan negatif?”
“Wah sulit pak diukur. Ya fifty-fifty lah, Pak.”
“Nah, ini masalahnya. Sudah menabur keindahan lewat kalimat indah dan positif, lalu bapak ‘kubur’ sendiri dengan kalimat kasar dan negatif. Padahal, hampir pasti, anak sisik Bapak itu sejak kecil pendengaran hanya menerima pendidikan orang tuannya dengan kata-kata kasar. Bentakan, hardikan, olok-olokan dan pilihan kalimat lainnya yang buruk dari orang tuanya.”
“Lantas, Pak?”
“Anak didik seperti ini harus mendapat perlakuan khusus. Anak harus sering diajak bicara berdua. Guru jangan terlalu banyak mempermalukan ia di depan banyak kawannya. Kalimat indah dan positif harus dominan dibanding kalimat kasar dan negatif. Untung kalau Bapak sudah bisa jadi manusia super sabar, maka tidak ada lagi kata bentakan. Karena anak didik bapak ini sudah pasti di otaknya, dihatinya, telah tertanam energi negatif yang menyebar akibat kata-kata kasar orang tua dan lingkungannya sejak kecil.” (kutipan dari catatan facebook : Yusron Aminulloh).
Makna sederhana dari kisah guru ini adalah ;
Pertama: Guru dituntut konsisten dalam menebarkan energi positif. Kombinasi energi positif dan energi negatif terbukti tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Keindahan kalimat dan energi positif “terkubur” oleh kalimat kasar dan negatif.
Kedua: Sekadar kalimat kasar, sudah pasti diikuti oleh sikap, rasa dan pikiran yang kasar. Dan itulah kekuatan aura energi negatif. Sebaliknya, kalimat indah akan diikuti sikap yang santun, energi yang berlimpah dalam kebaikan. Nah, itulah kekuatan energi positif.
Ketiga: Pemahaman ini bukan saja pada perilaku harian seorang guru, namun juga menyangkut sikap hidup. Kalau seorang guru tidak punya visi ke depan tentang hakekat hidup sebagai seorang guru maka, dia akan memiliki energi yang cenderung negatif. Sebaliknya, seorang guru yang visi dan konsep hidupnya sangat jelas, memiliki energi positif yang berlimpah ruah dan terus akan terjaga. (kutipan dari buku Mindset Pembelajaran, Yusron Aminulloh).
0 komentar:
Posting Komentar